Sore itu hari kamis, 10 Maret 2011 jatuh di kamis ke-200.
Apa itu kamisan? Aku pun tidak terlalu paham apa maknanya, mengapa harus kamis bukan rabu atau hari yang lain.. Filosofi mengapa dilakukan pada hari kamis tidak terlalu kupahami, yang aku tau setiap hari kamis tepatnya pukul 16.00 hingga 17.00 paguyuban keluarga korban (penghilangan aktivis,trisakti, semangi I & II ) dan korban pelanggaran HAM lainnya berkumpul, berdiri dengan payung hitam di depan istana Presiden! Nah kamis ke-200 inilah kali pertamanya aku ikut berdiri sebagai tanda aku ikut mendukung mereka. Jujur, aku ikut karena tergugah oleh undangan ibu sumarsih (ibu korban penembakan semanggi) ketika menghadiri konferensi Nasional yang diselenggarakan oleh kantor tempatku bekerja..
Selain itu, beberapa saat lalu ada perasaan yang mendorongku untuk aktif terjun pada kegiatan seperti ini sebagai wujudnya bahwa bergerak haruslah bersama tidak mampu bergerak dengan isu masing2 tapi kita harus bergandeng dan bekerja sama. Maka dengan itu, aku ingin mengambil bagian sebagai pendukung...
Oleh sebab itu, kamisan ke-200 menjadi momentum aku hadir di acara kamisan.
Aku berangkat bersama teman-teman sekantor, kami tiba di pelataran monas sekitar pukul 15.15 karena kamisan kali ini ini dimulai lebih awal sebab ada beberapa seremonial acara peringatan. Saat tiba di tempat, ada perasaan yang menggetarkan jiwaku. entah mengapa tiba-tiba terasa bergetar, gontai dan sangat memilukan yang aku rasakan. Sekuat hati aku menahan airmata untuk jatuh berurai, rasanya sangat miris melihat ibu dan paruh baya yang berdiri dalam naungan payung hitam dan senantiasa berdiri dan diam. Diam bukan berarti pasrah dan tidak melawan, sebab dengan berdiri dibawah terik matahari, diguyur hujan adalah bentuk PERLAWANAN mereka kepada rezim yang berkuasa. Mereka hanya ingin kepastian terhadap kejadian yang menimpa mereka.. Melihat wajah-wajah tua yang sepertinya masih akan kuat berdiri setia di kamis-kamis berikutnya membuatku semakin tertusuk! Batinku ingin menjerit, betapa menderitanya mereka. Orang-orang yang mereka cintai terengut dari sisi mereka tanpa ada kejelasan mengapa mereka harus DIBUNUH!
Semakin pahit kurasa ketika melihat mbak Suciwati, istri alm Munir ketika menyampaikan orasi dan terlihat sangat kuat dan tanpa sedikit airmata yang menghiasi wajahnya. Mungkin untuknya sudah bukan waktunya menangisi apa yang terjadi, tetapi memperjuangkannya! Tak mampu kubayangkan bagaimana anak-anak cak Munir saat ini, apakah mereka sering bertanya mengapa ayahnya dibunuh?
Entah berapa lama lagi mereka dan aku harus berdiri di depan istana menantikan kepastian hukum pemerintah untuk mengusut kasus pelanggaran HAM. Namun yang pasti, kami akan terus berdiri, berdiri setiap hari kamis dibawah payung hitam karena kami tidak ingin mereka yang pergi menjadi sia-sia dan ada orang-orang yang DIBUNUH KARENA BENAR!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar